Scary Story: Mirror

Posted by : Unknown
Selasa, 20 Januari 2015


Ibu tiriku kejam. Aku rasa hampir semua anak di dunia berpikir begitu ketika ayah mereka menikah lagi. Dan dalam kasusku, itu memang benar. Dia mau menikah dengan ayah hanya karena ayahku kaya, dan wanita itu benci anak kecil. Kami adalah tiga bersaudara, aku (Marie), adik pertamaku Richard dan yang terakhir Charles. Kami adalah hal yang memberatkan Gerta dalam usahanya menguasai kekayaan ayah. Karena jika ayah telah tiada, kami bertiga juga termasuk sebagai pewaris kekayaannya. Jadi wanita itu mulai berperilaku jahat pada kami.

Dia mengirim Charles ke sekolah asrama jauh di seberang lautan. Sekolah itu mempunyai reputasi baik dalam menghasilkan murid lulusan yang berkualitas tapi juga termasuk sekolah dengan sistem keras dan dipenuhi anak bengal untuk didisiplinkan. Bukan tempat bagi Charles yang lemah fisik apalagi sejak kecil ia sering sakit sakitan. Dia sangat sengsara berada di sana. Namun begitu Gerta terus memaksanya supaya tetap melanjutkan sekolah dan hanya boleh kembali ke rumah saat libur musim panas tiba. Ketika itu ia pulang setelah melalui semester pertamanya, dia terlihat pucat dan kurus dengan lingkar hitam di sekitar matanya yang tampak seperti luka memar. Saat ayah menyuruhnya kembali ke sekolah - dia merengek - bahkan menangis! Tapi ayah tidak memperdulikannya. Karena Gerta berujar pada ayah jika sekolah itu bagus untuk masa depan Charles, dan akhirnya Charles pun kembali lagi ke sana.

Aku melakukan semua yang kubisa untuk terus menjalin hubungan dengan Charles, mengiriminya surat pelipur lara, dan kusempatkan menelpon rutin setiap hari - hingga Gerta bekata bahwa apa yang kulakukan menyebabkan tagihan membengkak. Kemudian dia menetapkan peraturan menelpon hanya boleh 5 menit sekali dalam sebulan. Maka dari itu aku meminta ayah untuk memesankan tiket perjalanan ke Eropa supaya aku bisa mengunjungi Charles. Saat Gerta mengetahui ini dia begitu marah. Mata birunya memancarkan kesadisan hingga membuat bulu kudukku meremang dan bibir merah mudanya memberengut sengit padaku sejak aku mulai berani membantah.
Namun dua hari sebelum keberangkatanku ke Eropa, kami mendapat telpon dari sekolah yang mengabarkan bahwa Charles telah memanjat ke menara tertinggi di sekolah itu dan menggantung diri. Dia meninggal.

Tentu saja kejadian ini membuat ayah shock sedangkan Gerta bersorak girang dalam hati busuknya. Untuk beberapa bulan, ayah terus mencurahkan perhatiannya pada Richard dan aku, lebih banyak dari yang dia tunjukkan sejak ibu meninggal. Tetapi Gerta amat mempesona dan ia lagi-lagi merebut perhatian ayah kami. Kini setelah satu dari anak anak tirinya yang amat ia benci sudah mati, maka dia mulai mengincar yang lain, dan Richard malang adalah target selanjutnya.

Richard merupakan seorang remaja gagah yang hendak menjajaki tingkat SMA, ia sangat berbakat dalam bidang olah raga. Dia pasti sanggup bertahan menghadapi kehidupan sekolah asrama yang telah menumbangkan Charles. Maka Gerta pun mengirimnya ke sekolah seni artistik. Richard benci sekolah itu, tapi Gerta menghasut ayah dengan berkata kalau Richard memiliki "bakat seniman", jadilah dia pergi ke sana. (Jangan kau kira ayahku sudah belajar dari peristiwa yang menimpa Charles!)
Namun Richard adalah remaja yang tangguh, dengan tekun dia berlatih memainkan piano dan biola ketika seharusnya ia bermain sepak bola atau rugby. Tapi Gerta lebih pintar. Wanita itu mengenalkannya dengan beberapa anak SMA yang sangat Richard kagumi, mereka kaya, populer dan anggota klub rugby. Pergaulannya ini membawa Richard pada narkoba. Dan Gerta diam-diam seolah mendukung kebiasaan terlarangnya itu, dengan memberikan uang jajan berlebih dan membiarkan Richard tenggelam semakin jauh ke dalam pengaruh obat obatan. Hingga puncaknya pada suatu hari, Richard mengalami overdosis, dan dengan begitu Gerta hanya memiliki satu orang anak tiri yang tersisa, yaitu aku.

Aku sangat yakin bahwa Gerta sebenarnya tahu kalau Richard sedang ngobat hari itu. Dia juga tahu jika Richard kesakitan dan mungkin telah sekarat di kamarnya. Kalau saja dia "menemukan" Richard bahkan jika hanya sepuluh menit lebih cepat, nyawanya pasti masih bisa tertolong. Begitulah kata Dokter, dan aku mempercayainya. Tapi ayah tak mau mempercayaiku. Dia marah setiap kali aku membicarakan perilaku buruk Gerta, dan menyuruhku untuk menjaga mulut. Meski begitu, aku tahu kalau aku pasti akan jadi target selanjutnya, dan aku menduga setelah ayah mewasiatkan seluruh warisannya kepada wanita itu, dia pasti takkan hidup untuk waktu yang lama. Aku memutuskan jika Gerta bersikap terlalu jahat, maka aku akan kabur diam diam ke rumah bibi di New Jersey untuk tinggal bersamanya sampai aku menginjak usia 18 tahun.

Sejak saat penemuan mayat Richard di kamarnya, aku memaksa diri untuk jadi anak teladan. Pekerjaan rumah kuselesaikan tepat waktu, selalu bersopan santun di hadapan Gerta dan teman-temannya, ikut pergi ke ajang pariwisata berkapal keluarga dengan Gerta dan ayah - meskipun acaranya berbahaya semisal memancing hiu. Kau juga harus tahu betapa aku menjaga jarak antara diriku dengan permukaan laut dan sebisa mungkin menjauhi pinggiran kapal. Tapi Gerta lebih pandai dengan rencana-rencana jahatnya. Semua orang berpikir bahwa kejadian dimana saat itu kami semua sedang pergi keluar untuk berbelanja dan aku terjatuh ke lintasan persis di depan kereta yang sedang melaju adalah sebuah kecelakaan. Untung saja aku berhasil menghindar tepat pada waktunya, namun walau begitu masih terlalu dini bagiku untuk merasa aman.

Aku hampir saja hendak kabur dari rumah ketika ayah mengabarkan sebuah berita duka bahwa bibi di New Jersey telah meninggal saat tidur, karena diracuni oleh seorang kenalannya atau orang orang yang tidak diketahui siapa gerangan. Aku tertegun. Tidak mungkin Gerta bisa tahu? Tapi sepertinya dia memang sudah tahu rencanaku - aku bisa melihat dari senyuman licik di wajah wanita itu.

Malam itu aku pergi ke kamar dan mengurung diri untuk berpikir. Bisa saja aku kabur, tapi uangku takkan cukup untuk waktu lama. Dan aku harus menyelesaikan dulu pendidikanku atau musnah pula kesempatanku mendapatkan pekerjaan. Lagi pula, Gerta masih dapat berkeliaran di luar sana. Jika dia bisa menyewa seseorang untuk meracuni satu satunya sanak familiku yang masih hidup (selain ayah), tentu saja dia juga bisa melakukah hal serupa padaku, meskipun aku tetap tinggal di rumah ini atau tidak.

Hanya ada satu cara lagi yang terbersit di pikiranku. Dan itu sangat buruk untuk dilakukan. Rahasia keluarga yang telah diturunkan generasi ke generasi dari pihak ibuku. Rahasia ini menyangkut tentang seorang penyihir yang dijuluki Bloody Mary, sejak dulu ia berusaha membunuh buyut dari nenek buyutku dan menggunakan darah anak kecil untuk membuatnya tetap awet muda dan cantik selamanya. Penyihir itu dihentikan oleh buyut dari kakek buyutku, dan ketika tubuhnya dibakar hidup hidup dia mengutuk kakek buyut serta setiap cermin di rumah setiap orang yang ikut menyeretnya ke altar pembakaran, sehingga jika seseorang menyebut namanya di depan cermin cermin tersebut maka akan memunculkan arwahnya yang penuh dendam kesumat.

Ceritanya telah berubah tahun ke tahun, dan awalnya tersebar dari desa itu hingga ke kota kota besar. Sekarang ini, anak sekolah dimana saja iseng iseng mengucapkan nama Bloody Mary di depan cermin redup untuk menakut-nakuti diri mereka sendiri saat sedang melangsungkan pesta-pesta menginap, dan tak terjadi apapun pada mereka. Jadi tak seorangpun yang percaya akan kebenaran kutukan itu. Tentu saja, karena tak ada yang tahu cerita yang sesungguhnya tentang Bloody Mary. Yang mana telah terpendam jauh dalam kenangan para penduduk desa itu sejak dulu dulu sekali. Namun aku adalah keturunan langsung, dan aku tahu bagaimana cara untuk memanggil si penyihir. Kau harus memakai cermin milik seorang keturunan langsung dari salah satu penduduk desa tempat Bloody Mary dulu pernah tinggal. Dan nama penyihir harus di ucapkan dengan logat asli dari penduduk desa tersebut sebanyak jumlah tertentu serta bercahayakan beberapa batang lilin.

Hal ini adalah perbuatan yang jahat, aku tahu itu. Tapi hanya ini cara satu satunya untuk menyelamatkan hidupku. Harus Gerta atau aku yang mati. Jika aku tidak melawan balik, nyawaku terancam. Jadi ku ambil sedikit uang dari tabunganku lalu pergi ke toko alat alat khusus untuk membeli beberapa lilin cetakan tangan. Yang berwarna hitam. Dengan seksama ku ikuti langkah langkah yang dulu pernah ditunjukan ibu. Kutempatkan setiap lilin di sekeliling ruang tengah dengan jarak tertentu agar bayangannya terpantul ke cermin belakang sofa. Kemudian ku nyalakan satu per satu, sambil membaca mantera yang telah turun temurun diturunkan di pihak keluarga ibuku. Setelah itu aku menunggu. Ayah sedang melakukan perjalanan bisnis, dan Gerta pergi berpesta ke luar bersama pacar barunya. Dia tiba di rumah larut malam, lalu mengomel karena aku masih belum tidur. Suarannya genit seperti wanita murahan - aku benci suara itu. Bertingkah seolah dia wanita baik. Tapi aku dapat menangkap sedikit rasa curiga dari nada bicaranya, sambil dia terus mengamati pijaran lilin-lilin hitam itu.

"Kau sedang menyembunyikan sesuatu, Marie kecil?" tanyanya, sambil menekan nada bicaranya saat berkata kecil, dia tahu aku benci dipanggil begitu.

"Aku hanya sedang belajar dengan cahaya lilin," jawabku berbohong, sambil membalik halaman di bukuku.

Gerta mengerutkan dahi. "Kau tahu, Marie kecil, aku rasa saat ini kita harus bicara serius," tegasnya, lalu berjalan ke depan cermin di belakang sofa dan merapikan rambutnya.

"Ya," kataku pelan. "Kita harus bicara. Kau sudah membunuh kedua saudaraku. Dan juga bibiku. Tapi takkan kubiarkan kau menghabisiku."

Gerta tergelak oleh tawa. "Memangnya kau bisa apa!" sahutnya, lalu mengibaskan rambut pirangnya yang panjang ke belakang punggung.

Ku ucapkan nama Bloody Mary dengan logat keturunan para leluhurku. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Di cermin, bayangan Gerta memecah menjadi kilatan merah, dan muncul seraut wajah lain memandang tajam. Wajah carut marut bengis, yang telah rusak oleh waktu, dan memancarkan kekejaman luar biasa. Aku bersembunyi di balik sofa sembari Gerta memekik penuh kengerian, sepasang matanya terpaku pada sosok sang penyihir. Aku mengintip dari tempat persembunyianku, hawa panas membara menyeruak dari depan cermin, menyengat kulit cantiknya yang seputih batu pualam. Aku dapat mendengar semburan lidah api menjilat jilat sambil penyihir itu tertawa jahat lalu merentangkan tangannya ke arah ibu tiriku.

"Gerta," bisik Bloody Mary. "Datanglah padaku, Gerta."

Dan direngkuhnya ibu tiriku ke dalam dekapan tangannya.

Jeritan Gerta lenyap begitu saja. Bara api yang tadi menjilat njilat pun sudah tak nampak. Ketika aku kembali mengintip, Gerta dan Bloody Mary sudah menghilang.

Aku menelpon ayah di hotelnya ke esokan pagi untuk mengabarkan bahwa Gerta tidak tidur di rumah. (memang begitu kan!) ayah tidak senang mendengarnya. Dia kemudian menelpon beberapa teman Gerta dari kamar hotelnya, dan segera saja mengetahui bahwa Gerta punya kekasih simpanan lain. Beberapa simpanan, sebenarnya. Ayah sangat membenci perselingkuhan. Dia segera pulang untuk mendamprat Gerta, tapi wanita itu masih menghilang, ayah menduga dia kabur dengan seorang lelaki gelapnya.

Akhirnya, ayah memutuskan untuk menceraikan Gerta tanpa harus mememuinya terlebih dahulu. Dan karena wanita itu tak memiliki sanak saudara lain, kecuali kami, semua orang menerima saja cerita yang terdengar bahwa dia telah kabur dan tak seorangpun yang berusaha mencari dimana dia berada. Gerta sudah pergi. Dengan begitu ayah dan aku akhirnya selamat sentosa.


Source : americanfolklore.net

0 komentar:

Copyright © 2012 Creepypasta Anime Indonesia | Another Theme | Designed by Johanes DJ